Sabtu, 07 Februari 2015

Mencintai Diri



Seringkali ada penyesalan dan sedih yang mendalam jika melihat teman-temanku saat sekolah maupun kuliah dulu. Sepertinya mereka bahagia banget dengan kehidupannya. Lantas aku bertanya, apakah aku tidak cukup bahagia?  Sebenarnya bukan itu intinya, namun seringkali aku merasa terkurung dengan rutinitasku di rumah.
Sejak memutuskan untuk tidak mengajar lagi di sebuah sekolah swasta sejak dua tahun lalu, dan juga dari penerbitan, aktifitasku 100% adalah di rumah. Keputusan berhenti juga amat terpaksa karena aku mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kakiku cacat dan harus menggunakan kruk. Sebelumnya kukira aku akan banyak bisa melakukan aktifitas menulisku yang seringkali tertunda karena sudah disibukkan mengajar, tapi pada kenyataannya, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan urusan rumah. Entah mengapa sepertinya pekerjaan rumah tak pernah ada habisnya. Ada saja yang harus kukerjakan. Sayang rasanya menghabiskan waktu di depan kompi sementara pekerjaan rumah menanti. Namun  jika aku menemukan tulisan teman-teman yang nongol di media atau tulisan yang bahasanya canggih di status FB ataupun di blog, aku bisa benar-benar marah pada diri sendiri, aku menyesal kenapa aku selalu ketinggalan, aku bertanya kemana saja aku selama ini, bukankah menulis sudah jadi hobiku sejak kecil, bahkan tulisanku sudah sering dimuat media sejak SMP, namun kini rasanya tertinggal jauh sekali. Hasil tulisanpun serasa hambar walau sudah peras otak. Aku merasa bodoh, pemalas dan lelet, lambat dalam mengerjakan apapun.
Jika sudah merasa benci pada diri sendiri seperti itu, aku lalu akan bermain dengan anak-anakku, aku meyakinkan pada diri sendiri kalau aku bukanlah pemalas, aku memaksakan diri memaklumi diri sendiri bahwa bukan hal mudah mengurus 6 anak, 3 yang sudah menjelang dewasa harus dituntun dan 3 yang masih kecilnjuga masih harus diasuh. Aku bukan hanya sebagai ibu, namun juga guru bagi mereka. Jika kesedihanku belum juga tuntas, aku biasanya akan masak, masak apa saja selagi bahannya ada. Aktifitas memasak seringkali bisa menghiburku, apalagi jika suami dan anak-anak menyenangi masakanku. Itu adalah hiburan terbesar.
Aku yakin, suatu saat hiruk pikuk ini berakhir hingga aku bisa duduk manis dan kembali menulis. Memaksakan menulis pada saat ini adalah ibarat dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah, tangisan bayi, kerewelan anak, dan lain-lain. Namun harus tetap kusyukuri karena aku masih bisa menulis.
Pernah sesekali merasa drop, maka buku-bukulah yang akan kucari, utamanya adalah buku agama. Sambil menyusui aku akan memaksakan diri membaca, di sela-sela mengajari anak-anak juga akan kuulang bacaan-bacaan yang sebenarnya sudah kuhapal namun serinkali terlupa jika mood sedang tidak bagus. Meski tidak langsung sekali duduk habis kubaca, buku-buku itu sangat membantu. Intinya, aku adalah hamba, hamba yang segala pergerakannya sudah diatur oleh Tuhan, kita hanya diwajibkan berusaha, dan sebenarnya tidak ada yang sia-sia. Jika sudah begitu, akan sangat bisa memaafkan diri sendiri dan menerima diri ini apa adanya.
Postingan ini untuk mengikuti giveaway echaimutenan  

Jumat, 06 Februari 2015

First Love yang Mengejutkan




Kalau membicarakan tentang first love, aku selalu merasa geli sendiri, soalnya saat itu aku masih kelas 4 SD, usia yang terbilang masih unyu banget kalau dibandingkan teman-teman sebayaku waktu itu. Pada saat itu sepertinya belum ada anak-anak seusiaku yang tertarik melirik lawan jenis, tidak seperti sekarang yang anak SD saja sudah kenal pacaran. Jaman aku dulu, seusiaku masih asik main masak-masakan, bermain peran, main bekel, main conglak dan permainan perempuan lainnya, sedangkan anak laki-lakinya masih senang main layangan, main kelereng, dan lain-lain. Antara anak laki-laki dan anak perempuan masih sering berantem, sama sekali tidak ada ketertarikan antara satu sama lain.
Di saat kakak dan adikku masih senang main, aku main sekedarnya saja. Entah kenapa sejak kecil aku tidak pernah keranjingan main, aku ikut main hanya beberapa menit saja, selanjutnya aku lebih senang menghabiskan waktu dengan membaca. Bukan hanya majalah dan novel anak-anak, tapi majalah wanita dan novel-novel orang tuaku ikut kulahap jika bahan bacaan anak-anak sudah habis. Novel setebal Para Priyayi-nya Umar Kayam saja habis kubaca dalam waktu beberapa hari saja, apalagi novel Jalan Tak Ada Ujung-nya Mochtar Lubis yang tidak sampai sehari sudah selesai kubaca. Sampai-sampai aku pernah keranjingan baca novel, meskipun saat di pasar buku bekas aku lebih memburu novel-novel Enid Bylton.  Mungkin hal itulah yang menyebabkan aku sedikit banyak sudah mengerti soal dunia orang dewasa, termasuk hubungan lawan jenis.
Yang lucunya, first loveku itu kukagumi dalam kondisi yang bisa dibilang nggak banget deh, bayangkan saja aku melihatnya pertama kali saat dia berada di atas kerbaunya dengan hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada, saat itu kami sedang berkunjung ke rumah Simbah di Purworejo. Dan si penggembala kerbau itu adalah tetangga budeku. Entah mengapa aku senang saja memperhatikan anak laki-laki di atas kerbau itu, diriku bilang kalau anak itu keren banget.
Alhasil meski malu-malu, aku tongkrongin juga anak itu setiap sore. Dengan menenteng buku, aku duduk manis di teras rumah bude, berharap si dia kembali dengan kerbaunya yang kinclong. Sepertinya anak itu akan memandikan kerbaunya karena perginya ke arah sungai. Saat bayangannya muncul dari kejauhan, deg-degannya bukan main, sambil pura-pura baca, aku terus mengawasinya. Aih kalau ingat, akukan masih SD, diapun sama, hanya saja sudah kelas 6. Kalau kerbaunya sudah dikandangkan dan masuk rumah, baru deh aku pelan-pelan ke rumahnya, mengetuk warungnya pura-pura mau beli es. Ibunya memang buka warung dan menjual beraneka ragam jajanan anak-anak. Sambil beli es, aku berharap bisa melihatnya lagi, namun harapan itu tak pernah terwujud karena anaknya pemalu.
Akhirnya perkenalan dengan cinta pertamaku tak pernah terjadi, meskipun berkali-kali aku ikut ibu pulang kampung ke rumah simbah, namun aku tak pernah menjumpainya. Rasa kecewa ada, namun sudah tersapu-sapu dengan banyak peristiwa lain.
Bahkan sampai berbelas tahun kemudian bahkan aku sudah melupakannya, apalagi sejak simbah putriku meninggal di kala aku kelas satu SMA, aku tak pernah lagi ikut ibu pulang kampung. Tak ada cinta lain yang mengiringi sampai ada seseorang  yang mengajakku kenalan via surat. Dia menemukan tulisanku yang dimuat di majalah remaja.  Tahun 90-an belum jamannya hape dan media sosial. Maka berkorespondenlah kami sampai kurang lebih 3 bulanan. Meski hanya melihat wajahnya melalui foto, rasanya sudah senang sekali, bahkan deg-degan setiap kali mau membuka suratnya.
Tanggak 3 Agustus 1997 di saat rumahku akan mengadakan arisan keluarga, tiba-tiba teman korespondenku ini datang berkunjung tanpa konfirmasi sebelumnya. Datang jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung hanya karena penasaran ingin kopdar dengan sahabat penanya.  Saat baru tiba dia terkejut karena merasa sudah familiar dengan wajah bapakku. Saat melihat ibu, kakak dan adik-adikku, dia semakin yakin kalau aku bukanlah orang asing. Dia merasa mengenali wajah-wajah kami. Namun sat giliran bertemu denganku, dia malah baru pertama kali itu melihatku. Setelah berbincang agak lama, barulah ketahuan kalau ternyata dia adalah tetangga budeku, anak pemilik warung yang setiap sore menggembala kerbau dan memandikannya.  Saat satu persatu anggota arisan yang notabene masih keluarga berdatangan, semakin jelaslah bahwa sahabat penaku ini bukan orang lain. Ya Tuhan, dunia begitu kecil.
first loveku inilah yang jadi suamiku

Tiga bulan kemudian, sahabat pena yang ternyata first loveku itu melamarku,  bak kisah sinetron, beliau akhirnya jadi suamiku  Dan kini kami sudah menjalani pernikahan selama 18 tahun tanpa kendala berarti.
Artikel ini diikut sertakan dalam "My First Love Giveaway" Aprint Story